KAWASAN PERCANDIAN BATUJAYA, TUMPUKAN BATA YANG TERPENDAM ZAMAN
Bagi warga Karawang, khususnya yang berdomisili di daerah Kecamatan Batujaya, pasti sudah tidak asing lagi dengan Situs Cagar Budaya Batujaya. Di situs ini terdapat candi-candi, sebagai tempat beribadah pada masa Kerajaan Tarumanagara, namun kemungkinannya banyak candi yang masih terpendam di bawah tanah dan belum digali. Secara administratif, situs terletak di dua desa, yakni Desa Segaran Kecamatan Batujaya dan Desa Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Situs ini berada di daerah ujung Karawang, terletak di dataran rendah aluvial dengan ketinggian 4 m dari permukaan laut. Daerah ini termasuk daerah aliran sungai Citarum, yang terletak di daerah pantai utara Jawa Barat, berjarak kurang lebih 6 km dari garis pantai utara Pulau Jawa. Luas area situs Batujaya sekitar 5 km persegi.
Jika ditempuh dengan kendaraan sendiri dari Jakarta, dapat melewati jalan tol Cikampek. Keluar di gerbang tol Karawang Barat dan mengambil jurusan Rengasdengklok, lalu ambil jalan ke arah Batujaya di suatu persimpangan. Walaupun jika ditarik garis lurus hanya berjarak 50 km dari Jakarta, waktu tempuh dapat mencapai tiga jam karena berada di daerah pemukiman penduduk.
Situs Batujaya terletak di lokasi yang berdekatan dengan Situs Cibuaya (sekitar 15 km ke arah timur laut), yang merupakan tinggalan Hindu dan situs temuan prasejarah "kebudayaan Buni" yang diperkirakan berasal dari masa abad pertama Masehi. Kenyataan ini mendukung tulisan Fa Hsien yang menyatakan "Di Ye-po-ti (Kerajaan Taruma) jarang ditemukan penganut Buddhisme, tetapi banyak dijumpai brahmana dan orang-orang beragama kotor".
Dulu di lokasi candi merupakan danau atau rawa dan candi dibangun di tepian. Danau ini terbentuk akibat beralihnya Ci Tarum dari arah utara ke barat laut. Hal ini ditandai dengan penamaan nama desa yang ada, yaitu Segaran dan Telaga Jaya yang berarti laut atau badan air seperti danau dalam bahasa Sanskerta.
Geologi daerah Batujaya adalah endapan kuarter sebagai hasil limpahan banjir dan endapan sedimen laut dengan sebaran mendatar dan tegak akibat perkembangan pantai. Dengan kondisi geologis seperti itu, beberapa jenis flora dan fauna pernah hidup di lokasi ini. Hal ini ditunjukkan oleh temuan berupa sisa-sisa hewan. Ekofak ini ditemukan berasosiasi dengan artefak tembikar dan pecahan-pecahan bata lapisan tanah yang berwarna coklat kehitaman.
Lingkungan di kawasan ini masih dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat setempat sebagai lahan pertanian, terutama padi, sebagai aktivitas kehidupan yang berlangsung di kawasan Batujaya sejak masa lampau hingga sekarang. Kemungkinan daerah Karawang sejak dulu merupakan penghasil padi. Bahkan hingga kini masih dikenal sebagai lumbung padi Jawa Barat.
Candi-candi ini dikelilingi oleh hamparan sawah yang luas. Di ujung jalan, pengunjung langsung bertemu dengan pemukiman penduduk yang padat. Di sebelah kiri jalan, ada sebuah bangunan berwarna coklat yang tersusun dari batu bata, yang difungsikan sebagai bangunan Museum Cagar Budaya Batujaya.
Museum Cagar Budaya Batujaya memiliki halaman yang sangat luas. Tersedia tempat parkir bagi pengunjung. Jadi pengunjung tidak perlu khawatir untuk memarkirkan kendaraannya. Museum ini bisa menjadi spot foto yang menarik bagi pengunjung. Selain museum, terdapat fasilitas berupa kantin dan saung untuk menikmati pemandangan sawah dan rerumputan. Di sekeliling area museum banyak terdapat berbagai jenis pohon mangga yang buahnya bisa dicicipi pengunjung.
Penemuan Situs Batujaya diawali ketika tim arkeolog Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1984 mengadakan penelitian di Situs Cibuaya yang terletak sekitar 20 km di sebelah timur Batujaya. Kemudian dilakukan survei permukaan di situs percandian Batujaya ini untuk mengidentifikasi situs-situs yang ada. Setelah itu, dilakukan penelitian untuk mengetahui denah, bentukdan pola hias dari struktur bangunan situs. Penelitian berfokus pada bagian tubuh bangunan, bertujuan untuk mengungkap keterpaduan aspek teknis dan aspek keagamaan dalam pendirian candi. Setelah 18 tahun penelitian terungkap dua kebudayaan di Situs Batujaya, yaitu Budaya Buni yang diwakili oleh artefak tembikar dan kebudayaan yang mendapat pengaruh India, diwakili oleh bangunan bata.
Dari segi kualitas, candi di situs Batujaya tidaklah utuh. Hanya bagian kaki atau dasar bangunan yang ditemukan, kecuali di situs Candi Blandongan. Candi-candi yang sebagian besar masih berada di dalam tanah berbentuk gundukan bukit (dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa disebut ‘unur’). Ternyata candi-candi ini tidak memperlihatkan ukuran atau ketinggian bangunan yang sama.
Setelah serangkaian penelitian, selanjutnya dilakukan studi kelayakan dan studi teknis untuk upaya pelestarian, pemanfaatan dan pengembangan tinggalan budaya tersebut. Memiliki tiga potensi utama yang saling terkait, yakni potensi akademik, ekonomik, dan edukatif bagi pengembangan wisata budaya. Karenanya, potensi ini perlu dipertahankan dan dikembangkan semaksimal mungkin dengan mengikuti kaidah-kaidah konservasi, pemanfaatan, dan pengembangannya.
Sejak pertama kali ditemukan pada 1984, data historis-arkeologis yang berhasil diungkap masih bersifat sementara. Penelitian-penelitian yang berkesinambungan dan terkoordinasi sangatlah dinantikan, agar masyarakat khususnya generasi penerus dapat memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh tentang warisan budaya bangsanya.
Sejauh ini, banyak hasil penelitian yang diperoleh dari pengamatan situs ini selama bertahun-tahun. Terungkap Situs Batujaya merupakan situs percandian yang berlatar Buddha. Diketahui pula ada 26 buah cagar budaya di wilayah ini. Hasil analisis radiometrik karbon C--14 menunjukkan kronologi abad ke-2 Masehi dan termuda abad ke-12 Masehi. Kompleks percandian diperkirakan digunakan selama dua tahap, yakni masa antara awal abad ke-5 sampai dengan ke-7 atau selama masa Kerajaan Tarumanagara. Kemudian selama masa abad ke-7 sampai ke-10 Masehi, pada masa pengaruh Sriwijaya.
Tinggalan yang berada di kawasan Batujaya ini berlatar abad ke-4 hingga ke-13 Masehi. Memperhatikan adanya beberapa temuan yang kuat dari kurun waktu megalitik, seperti batu tegak (menhir), batu datar, dolmen, dan batu bergores maka dapat diduga kawasan ini menjadi pilihan untuk kegiatan ritual sejak masa megalitik.
Pengunjung bisa melanjutkan perjalanan menyusuri jalan setapak ke Candi Jiwa. Candi ini dikelilingi sawah tapi cukup terawat. Ada banyak tanaman hias indah dan dibentuk dengan sangat unik. Namun pengunjung tidak dapat turun ke dasar candi dan menaiki candi ini. Dikhawatirkan apabila pengunjung menaiki candi, maka candi akan runtuh mengingat candi ini merupakan salah satu candi tertua di Pulau Jawa. Di bagian atas candi, batu bata disusun melingkar sehingga membentuk bunga teratai. Inilah yang membuat para ahli menduga merupakan candi untuk tempat beribadah agama Buddha. Di sekitar candi tidak ada tangga untuk naik ke atas. Ini menandakan bahwa peribadatan dilakukan di sekitar candi, bukan di atas candi.
Selanjutnya pengunjung dapat melanjutkan perjalanan ke Candi Blandongan melalui jalan setapak kembali. Menyusuri jalan setapak ini,pengunjung dapat menikmati suasana pedesaan yang asri dengan hamparan sawah luas membentang. Perjalanan dari Candi Jiwa dan Candi Blandongan tidak memakan waktu lama. Lingkungan Candi Blandongan sangat indah dengan adanya danau dan pepohonan yang rindang.
Candi Blandongan memiliki area lebih luas dibandingkan Candi Jiwa. Di sekitar candi masih terdapat tumpukan batu bata. Diduga tumpukan batu bata ini adalah gapura candi. Candi Blandongan yang berbentuk segi empat ini memiliki tangga di keempat sisinya. Berarti pemujaan atau peribadatan dilakukan di bagian atas candi, bukan di sekeliling candi seperti di Candi Jiwa. Bangunan ini terbuat dari susunan bata, memiliki empat buah pintu di bagian tengah ditemukan hamparan lantai seperti cor bahan stucco dengan campuran batu krakal. Di Candi Blandongan ditemukan lempengan emas dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Diduga berisi mantra. Ditemukan pula manik-manik dari tanah, kaca dan batu, merupakan perlengkapan yang digunakan dalam kegiatan keagamaan di Situs Batujaya.
Dari masa prasejarah, ditemukan pula gerabah Buni dengan wilayah persebarannya dikenal dengan Budaya Buni. Hal ini diindikasikandari berbagai temuan berupa kapak batu, perunggu, kerak-kerak besi, pecahan wadah dari tembaga dan pecahan gerabah dalam jumlah besar. Gerabah prasejarah berdasarkan tipologinya umumnya memperlihatkan hiasan, ragam dan kondisi yang masih sederhana, seperti wadah berdasar rata dengan dinding vertikal, permukaan kasar, kebanyakan tidak berhias dan dibakar dengan suhu rendah.
Gerabah mulai dikenal pada masa bercocok tanam. Temuan pecahan gerabah dari Situs Batujaya diidentifikasi atas 20 macam bentuk wadah, antara lain berupa bandul, manik-manik, gacuk, dan kelereng. Masuknya pengaruh budaya India disikapi dalam bentuk adaptasi budaya maupun akulturasi. Hal ini merupakan proses alamiah manusia dalam mempertahankan hidup. Maka terjadilah kesinambungan budaya masa prasejarah ke masa Hindu-Buddha.
Banyak buku yang membahas mengenai misteri Situs Percandian Batujaya ini, antara lain Jelajah Masa Lalu, Mosaik Arkeologi, Tapak-Tapak Budaya, dan Rona Arkeologi. Buku yang cukup lengkap berjudul Kompleks Percandian Batujaya: Rekonstruksi Sejarah Kebudayaan Daerah Pantai Utara Jawa Barat karya Hasan Djafar. Kalian bisa membaca buku-buku ini lewat buku elektronik atau membelinya secara daring. Ayo ke Situs Batujaya!
Keren ... Lanjutkan Eca cantik
ReplyDelete