MEMORI KISAH MASA KECILKU 2
BAB 2: OLIMPIADE MATEMATIKA DAN IPA
Pada saat saya kelas 5 SD semester 2, saya masih ingat kelas kami secara tiba-tiba dibagikan kertas yang berisi 60 soal matematika. Saya sangat terkejut saat itu. Saya tidak tahu itu soal untuk apa karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya jika ada ulangan. Soal itu modelnya mirip soal UN. Di depannya ada tulisan “Olimpiade Matematika dan IPA”. Saya lalu mengerjakannya. Bagi saya ini cukup mudah. Lalu jawaban kami langsung dinilai oleh Pak Kris, guru saya. Saya dan 2 teman saya mendapatkan nilai tertinggi dan kami langsung ditunjuk untuk mengikuti olimpiade. Saya awalnya sempat kaget. Sebelum ini saya tidak pernah ada tawaran untuk mengikuti olimpiade, jadi saya menerimanya dengan senang hati. Tetapi di sisi lain saya gugup. Saya takut akan mengecewakan sekolah jika saya gagal. Saya sempat menolak. Tetapi para guru dan orang tua saya terus mensupport saya. Akhirnya saya mau mengikutinya.
Lalu besoknya, kami disuguhi soal lagi. Kali ini IPA. Ini soal untuk seleksi olimpiade, sama seperti matematika sebelumnya. Saya sudah stress saat melihat soalnya. Saya tidak tahu apa-apa karena saya tidak belajar sebelumnya. Sama seperti matematika. Pemberitahuan pun tidak ada. Banyak sekali soal yang asal saya isi ataupun dikosongkan. Saya tidak peduli karena saya pikir saya sudah mengikuti olimpiade matematika, untuk apa mengerjakan IPA lagi? Lagipula ini kan hanya untuk seleksi lomba, bukan ulangan, jadi tidak masuk nilai rapot. Lagipula olimpiade matematika dan IPA dilaksanakan secara bersamaan. Saya tidak menjawab sama sekali pun itu tidak apa-apa karena saya tidak mungkin mengikuti keduanya.
Saya mengikuti sebuah lomba, semacam olimpiade MIPA. Saat itu, saya berangkat bersama teman-teman saya yang juga mengikuti olimpiade pagi-pagi subuh. Saya saat itu malah belajar IPA karena saya kira saya mengikuti keduanya. Tetapi ternyata saya salah. Saya hanya mengikuti olimpiade matematika. Saya sangat malu saat itu karena dari kemarin saya hanya belajar IPA, bukan matematika. Saya berpikir saya memang benar-benar bodoh saat itu. Kami mengikuti lomba di SD Strada di Tangerang. Kami naik mobil seorang guru kesana. Perjalanan kesana memakan waktu yang banyak karena jaraknya yang jauh dan juga macet dimana-mana. Apalagi banyak perbaikan jalan.
Kami sampai sekitar jam 10. Lalu setelah itu kami disambut oleh kepala sekolah yang ternyata sudah sampai duluan disana. Kami lalu menunggu di aula besar. Saat itu kami kira kami sudah telat, karena banyaknya macet di jalan. Tetapi ternyata waktunya di undur karena banyaknya peserta yang belum datang karena terjebak macet. Tim yang akan mengikuti olimpiade IPA saja belum datang. Mereka terjebak macet di jalan tol. Lalu kami duduk di barisan yang sesuai dengan ruangan kami masing-masing. Saya ada di ruangan 2, sedangkan teman-teman saya ada di ruangan sebelah. Saya sempat panik, karena saya tidak belajar matematika. Awalnya saya santai saja, saya kira mungkin ini dikerjakannya per tim, tetapi ternyata tidak. Ini per individu. Tak lama tim IPA kami datang. Lalu olimpiade pun siap dimulai.
Saya digiring ke sebuah ruangan kelas. Lalu saya duduk sesuai dengan nama sekolah yang sudah ditempel di meja. Meja itu posisinya dekat jendela, meja kedua dari depan. Tirai jendelanya ditutup, jadi saya membukanya sedikit untuk melihat. Pemandangannya indah sekali. Kelas ini berada di lantai 4, dan pemandangan di bawah adalah lapangan basket yang luas dan ada 2 ekor burung merpati yang terbang kesana-kemari. Bagus sekali sekolah ini. Lalu soal pun mulai dibagikan. Hati saya sudah deg-degan. Semoga soalnya mudah, pikir saya. Namun ternyata semuanya sesuai yang saya pikirkan. Saya melihat-lihat soal itu. Sulit sekali. Sepertinya tak ada satupun yang saya bisa kerjakan. Saya berusaha mengerjakan yang mudah-mudah dahulu. Lalu tibalah ke soal yang lebih sulit. Waktunya hanya setengah jam lagi. Saya berusaha menghitungnya. Saya tak peduli itu benar atau salah, yang penting saya isi. Satu persatu anak keluar karena sudah selesai. Saya adalah orang terakhir yang masih tinggal. Sebenarnya waktu masih tersisa banyak, bahkan pengawasnya mengatakan pada saya untuk memeriksa jawaban lagi. Namun saya tidak ingin sendirian dan mengumpulkan jawaban saya. Saya lalu keluar.
Saya kembali ke aula besar. Disana sudah ada banyak orang. Kedua teman saya menunggu saya. Tim IPA juga sudah selesai. Jadi saya adalah orang terakhir. Mereka sedang makan. Saya duduk di kursi dan mengambil makanan saya. Pikiran saya kacau karena soal tadi. Saya tidak mungkin lanjut ke babak selanjutnya. Saat istirahat, kami makan sambil melihat pertunjukan dari beberapa ekstra disana. Yang membuat saya kagum adalah penampilan dari ekstra polisi cilik. Mereka mempraktekan kegiatan baris-berbaris dengan rapi dan tanpa kesalahan sedikitpun. Saya sangat terkesan.
Di penghujung istirahat ada pengumuman siapa saja yang lanjut ke babak kedua. Sekitar 20 anak yang akan dipilih untuk lanjut ke babak kedua. Salah satu teman setim saya lanjut ke babak kedua. Tentu saya sangat sennag karena tim kami masih punya harapan. Kami semua menyemangatinya. Lalu ia pergi ke ruangan untuk babak kedua. Saya dan lainnya menunggu di aula besar. Kami semua berharap dia berhasil dalam babak ini.
Selang sejam, dia kembali ke aula. Dia bilang dia gagal. Di babak kedua ini, lebih ke praktek. Seharusnya ini dikerjakan pertim, tetapi di tim kami hanya dia yang berhasil melewati babak pertama. Jadi dia kehabisan waktu karena semuanya dikerjakan sendiri. Di babak ini tugasnya adalah menyusun balok dari potongan-potongan. Kepala sekolah tampak kecewa dengan kami. Ia menyuruh kami untuk pulang duluan. Lalu kami pulang menggunakan mobil guru. Hanya 1 mobil karena guru yang satunya akan pergi untuk mengahadiri sebuah acara. Jadi kami berdempet-dempetan di dalam mobil ketika pulang.
Kami semua bercanda di dalam mobil dan saling bercerita tentang olimpiade tadi. Mereka bilang soalnya sulit sekali, apalagi yang IPA. Mereka mengatakan kalau mereka lebih baik tidak ikut olimpiade daripada harus mengerjakan soal olimpiade yang membuat kepala mereka pecah. Saya sependapat dengan mereka. Sepertinya kami semua trauma olimpiade. Saya berpikir hari ini sangat menyenangkan, sekaligus membuat saya stress. Kami pulang dan pergi selalu terjebak macet. Bahkan saat pulang kami, jalan tol sama sekali tidak bergerak hingga sejam kami menunggu disana. Bahkan guru kami sampai keluar dari mobil untuk melihat apa yang terjadi. Beberapa anak juga keluar. Sepertinya sejam lebih kami menunggu dan mobilnya tidak bergerak sama sekali. Lalu kami diberi roti untuk makanan selama macet.
Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, kami sampai sekolah jam 7 malam. Saya lupa menelpon ibu saya untuk menjemput saya di jalan tadi. Akhirnya saya menunggunya sampai langit gelap di sekolah. Untunglah ada guru yang masih belum pulang. Sambil menunggu, saya berbincang dengan guru itu. Bahkan saya diberi makan olehnya. Lalu ibu saya datang. Ia memarahi saya karena lupa untuk menelponnya, dan akhirnya jadi merepotkan guru itu. Yeah.. hari ini memang melelahkan.
Comments
Post a Comment