Ceritera: Rantang Hijau




SUMMARY

Ini adalah kisah perjalanan dua insan yang unik dan luar biasa. Namanya Kapten INF Airlangga Chandra Kusuma Wijaya, komandan Kompi Senapan C di Batalyon Infanteri 476 Yudha Wastu Pramuka, personel pasukan khusus Kopassus TNI AD, Sat Gultor 81. Lulusan terbaik Akademi Militer, memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun mengudara dalam militer dan medan pertempuran, serta memiliki karir cemerlang sebagai seorang perwira. Namun sayangnya ia harus bersanding dengan seorang siswi SMA yang lugu dan polos. Namanya Ratriani. Parasnya manis dan merupakan gadis baik-baik. Sangat pendiam, namun memiliki otak cemerlang dengan prestasi di bidang sains yang gemilang. Sayangnya lagi, di hari pertamanya di SMA, ia harus bertemu dengan seorang perwira yang dingin namun tampan memesona, membuatnya candu, bodoh sesaat dan jatuh cinta seketika, sekaligus membuatnya terjebak dalam 1001 masalah. Itulah kali pertama dan terakhirnya memendam rasa pada seorang pria dewasa, yang 15 tahun lebih tua darinya. Salahkan saja takdir. Perjalanan panjang ini diwarnai rasa suka dan duka, tangis dan bahagia tak terperi. Bagai remaja yang sedang dimabuk cinta, mereka terlalu labil dengan emosi tak terkendali. Mereka memang tidak seimbang, seolah timpang. Namun percayalah, Tuhan mahaadil. Ia tahu, lubang kekosongan apa yang harus diisi, diantara kedua insan berbeda ini.


***


Nama yang diberikan orangtuanya adalah Airlangga Chandra Kusuma Wijaya, tersemat padanya sejak lahir. Ia akrab disapa Angga. Seiring berjalannya waktu, nama pemuda berparas tampan itu bertambah banyak karakter. Ada pangkat, kesatuan dan juga gelar. Tak hanya nama, dari ujung rambut sampai ujung kaki pun banyak mengalami perubahan dan penambahan. Sampai di suatu titik menuju puncak, pemuda itu harus berhadapan dengan sebuah problematika, yang tak bisa ia selesaikan sendiri. "Tempat asing macam apa ini?" pikirnya ketika pertama kali menginjakkan kaki di tempat itu. Sebuah pedesaan yang terpencil dan terpelosok, jauh dari perkotaan. Penempatannya memang tidak pernah menyenangkan, contohnya seperti di tempat ini. Tempat asing ini.. entah mengapa terlalu asing baginya. Tanpa banyak protes, Angga, pemuda itu segera menata barang-barangnya. Hari-hari berjalan biasa, terlalu biasa baginya. Tidak ada yang spesial, sama seperti di tempat-tempat lain, terkecuali sesosok gadis muda berpenampilan sederhana yang setiap pagi buta berjalan di depan markas. Ya, gadis itu nampak masih sangat belia. Angga tidak mengenalnya, dan ia yakin gadis itu juga tidak mengenalnya. Gadis itu adalah penduduk asli di daerah asing ini, yang selalu berjalan di pagi hari untuk menuntut ilmu, jauh di pinggiran kota sana. Tidak tahu mengapa, atensi Angga selalu berpusat pada sosok kelewat biasa itu setiap jam 5 pagi. Tak pernah ada sedikitpun niat Angga untuk berinteraksi dengannya, sampai Tuhan pun memberi kesempatan mereka bertemu. Entah Tuhan mengabulkan doa siapa saat itu, pertemuan mata yang hanya berlangsung selama 3 detik itu meninggalkan kesan yang mendalam bagi sang gadis, hingga tahun-tahun setelahnya. 


Namanya Ratriani. Seorang gadis manis, merupakan siswa SMA yang baru saja lulus pendidikan sebelumnya. Sekolah yang jauh di pinggir kota menyebabkan dirinya harus berangkat pagi buta dan berjalan jauh untuk mencapai tempat menimba ilmu itu. Sebuah komplek besar dengan bangunan berwarna serba hijau di sebelah kanan jalan itu menarik atensinya sejak hari pertama di sekolah baru. Setiap pagi, ia dapat melihat para tentara muda sedang berolahraga bersama. Bukan, bukan itu pusat atensinya, melainkan sang komandan yang selalu berteriak di hadapan mereka. Gagah dan tampan, itulah yang ada di benaknya. Itu juga yang menjadi alasan mengapa ia selalu bahagia jika berangkat di pagi hari dan mengulur-ulur waktu hingga tepat jam 5. Di atas kepala langit masih gelap. Hanya diterangi lampu kecil di ujung jalan, dan lentera minyak di tangan sang pujaan hati, ia dapat menikmati sumber kesenangannya. Dengan terukir senyum di wajah, ia akan kembali melanjutkan perjalanannya yang tertunda sampai di pinggir kota. Bayangan pangeran berkuda putih selalu muncul di benaknya, baik pagi, siang, sore hingga terucap dalam doa di malam yang sunyi sebelum tidur. Hingga di suatu hari yang tak pernah disangka-sangka, dibawah cahaya rembulan yang lembut, dua insan yang sedang dimabuk asmara dalam kebingungan itu bertemu. Hanya berupa bahasa cinta, tanpa verba maupun frasa yang terurai. Ya, mata hitam sekelam jelaga sang pujaan hati seolah menghipnotisnya masuk ke dalam perangkapnya, hingga ia tak dapat keluar lagi. Dan irama itu terus berulang. Sebagai gantinya, ia harus menerima konsekuensinya; terluka berdarah-darah oleh sesuatu yang sangat ia jaga. 


Angga dapat merasakannya. Gadis SMA itu selalu mengikutinya kemanapun ia pergi. Setiap pagi di batalyon maupun di jalan raya, gadis itu pasti selalu ada di sana, berdiri tegak di bawah lampu penerangan jalan yang agak redup, di ujung jalan. Entah apa yang ia lakukan terdiam di sana. Angga pun tidak terlalu mempermasalahkannya, apapun yang ia lakukan. Toh itu bukan urusannya. Namun dirinya lama kelamaan menjadi risih sebab gadis tak dikenal itu ternyata juga mengikutinya sampai ke pelosok desa. Entah apa yang ia lakukan, lagi, di tempat pelosok itu, hanya terdiam dan menatap Angga serta timnya dari kejauhan. Ia tidak akan beranjak dari sana sama sekali sampai Angga beranjak. Boleh Angga akui, sepertinya bukan gadis itu yang lelah, melainkan Angga. Ia lelah diikuti kemanapun oleh gadis itu. Tak ia sadari, netra jelaganya selalu mencari keberadaan sang gadis dimanapun, menjadi kebiasaan yang melekat pada dirinya.


Kapten INF Airlangga namanya. Ratri, gadis itu tersenyum lebar. Ia senang sekali. Pasalnya sekolahnya mengadakan kunjungan ke Yonif markas sang pujaan hati. Dan beruntungnya ia. Pria itu adalah pembina timnya. Dari lubuk hati terdalamnya, Ratri sangat menyukai pria tampan itu. Beberapa kali ia tidak fokus dalam kerjasama tim karena atensinya selalu teralih ke wajah dirinya. "Mana mau dia sama kamu. Dia punya banyak pilihan, sedang kamu hanya seorang siswa SMA," kata sang ibu sambil lalu. Ratri mengernyitkan dahi. Niat hati ingin mencurahkan isi hati, ia urungkan karena perkataan sang ibu yang cukup menyakiti perasaannya. Namun Ratri telah membulatkan tekadnya. Apapun yang terjadi, Ratri memutuskan untuk mencintai Kapten Angga, sang pangeran berkuda putih. Perlahan benih-benih cinta bermunculan, seiring dengan rasa pedih akibat sayatan pisau yang semakin dalam menikam.


Sebuah rantang dengan pita hijau loreng diatasnya tersodor di hadapan Angga. Ia pikir pagi di bulan September ini takkan ada hal luar biasa terjadi. Si gadis penguntit — demikian Angga melabelinya — dengan senyum merekah sambil menjinjing rantang empat tingkat bercorak bunga itu, menyodorinya secara tiba-tiba sambil memperkenalkan dirinya. Namanya Ratri. Nama yang indah, memang. Namun Angga tidak serta merta menerima sesuatu yang dibawa gadis itu. Ia baru mengenal gadis ini saat kunjungan sekolah bulan Agustus kemarin sebagai anggota tim yang ia bina, tidak lebih. Namun ia akui, sudah hampir dua bulan ia mengenal sosoknya, yang selalu mengikutinya kemanapun ia pergi. "Ini untuk bapak, sebagai tanda terimakasih telah menjadi pembina tim saya," ujar gadis itu malu-malu. Ratri menundukkan wajahnya, dengan dihiasi semburat merah muda tipis di pipinya. Angga mengernyit. "Siapa yang mengizinkanmu masuk?" tanya Angga mengintimidasi. Suara bariton berat itu masuk menembus gendang telinga Ratri, membuatnya seketika berjengit. "Kembalilah. Saya tidak memerlukannya," ucap Angga dengan cuek, lalu menutup pintunya. Ratri pun menjadi kelimpungan sendiri. Pasalnya ia sudah susah-susah masuk ke asrama perwira, dan sekarang ia secara tidak langsung diusir. Lagipula masakannya belum diterima sang pujaan hati. "Bapak," panggilnya pelan dengan lirih. Ia berusaha mengintip ke dalam lewat gorden yang terbuka, namun nihil. Tidak ada orang di dalam. Nampaknya Angga memang meninggalkannya ke kamar. Dengan perasaan  sedikit sedih dan kecewa, Ratri memutuskan untuk tidak mengganggu Angga dan meninggalkan makanan di atas meja teras. Ia berharap, Angga mau menerimanya dan menyukai masakannya. "Kuharap bapak senang," ucapnya pelan sebelum beranjak dari tempat itu. 

###

TBC?

Cerita ini kubuat saat liburan sekolah semester 5. Aku terinspirasi dari kisah Kapten CZI (Anm.) Pierre Tendean saat pertama kali bertemu sang calon istri, Ibu Rukmini. Saat itu beliau penempatan di Sumatera Barat. Betul-betul membuatku baper setengah mati.

Buat yang penasaran sama ceritanya, cek di Google, yah! C U!

Comments

Popular Posts