Kisah Perjalanan Sebuah Cinta
Ibu sangat mencintai Ayah.
Bahkan jika harus sampai matipun, Ibu akan tetap mencintai Ayah.
Ibu rela melakukan apapun demi Ayah, bahkan jika harus menukarnya dengan nyawanya sendiri.
Ibu rela melakukan apapun agar Ayah senang dan puas, bahkan jika harus merelakan kebahagiannya sendiri.
Senyum hangat dan cintanya yang berlimpah diberikan hanya untuk Ayah.. dan juga Aku.
Namun Ayah tak pernah memandang Ibu sekalipun.
Sepulang kerja, Ibu selalu menyambut Ayah dengan senyum manis nan hangat di wajah ayunya.
Selalu.. setiap hari dan tak pernah absen.
Sayangnya Ayah tak pernah sama sekali membalasnya.
Membalas semua kebaikan dan cinta kasih Ibu yang selalu menyamankan.
Apa Ayah tidak mencintai Ibu?
Hal ini selalu terjadi sejak Aku kecil.
Ayah memang seperti itu, selalu seperti itu.
Kepada Ibu dan kepadaku.
Namun kini aku bukan lagi anak kecil yang lebih memilih tak peduli, asal kebutuhanku terpenuhi.
Kini rasaku mulai terasah, dan aku penasaran.
Bagaimana Ibu yang cantik, manis, cerdas, baik, dan lembut bisa jatuh cinta pada Ayah yang dingin, kaku, dan acuh tak acuh?
Bahkan sampai Aku lahir ke dunia dan usiaku kini 15 tahun.
Apakah terpaksa?
Apa karena suatu perjanjian?
Apa yang telah mereka lewatkan di masa lalu?
Apa yang telah terjadi?
Kami hanya bertemu tiap pagi buta dan larut malam, akhir-akhir ini.
Sebelumnya aku malahan tidak pernah melihat sosok Ayah, kecuali di hari Minggu.
Padahal kami serumah.
Padahal kami satu atap, hidup di atas lantai yang sama.
Tetapi Ayah bahkan tak pernah menyapa dan menanyakan keadaanku.
Ayah selalu bersembunyi dibalik dinding kamarnya yang 'tak tertembus'.
Bahkan ketika Aku sakit, Ayah tidak menemuiku, barang sedetik saja.
Hanya Ibu, satu-satunya malaikat tanpa sayap yang setia menemaniku, bahkan hingga gurat kelelahan terpancar dari wajah cantiknya.
Ayah, apakah Kau setega itu padaku?
Apa Aku ini sesungguhnya bukan anakmu?
Lalu Kau anggap apa Aku?
Setidakberharga itu kah aku di matamu?
Sungguh, aku ingin menangis meraung-raung setiap mengingat mata tajam nan angkuh Ayahku sendiri.
Aku semakin yakin, Ayah tidak mencintai Ibu dan Aku.
Berkali-kali Ibu berusaha meyakinkanku, walaupun aku tidak meminta.
"Sesungguhnya Ayah mencintaimu. Hanya saja Ayah tidak bisa dengan mudah menyatakan rasa cintanya yang besar padamu."
Aku menyangsikannya.
Tidak, bukan begitu.
Aku terus meyakinkan diriku sendiri, bahwa sesungguhnya Ayah memang tidak memiliki cinta di hati keras nan batunya.
Ibu selalu menghujani Ayah dengan cinta yang tulus dan murni.
Tak henti-hentinya, cinta itu terus mengalir.
Ibu seolah memiliki cinta yang tak terhingga.
Terkadang Aku iri pada Ayah, yang sangat dicinta Ibu.
Aku akui, Aku pun tidak kekurangan cinta, baik dari Ibu atau teman-teman.
Aku.. tidak butuh cinta Ayah.
Entah kenapa, Aku hanya iri dengan Ayah, yang mampu menampung cinta sebanyak itu sendirian, tanpa membagikannya pada orang kembali.
Sekeras dan sekaku itu kah hati Ayah, sampai cinta dari Ibu pun tak bisa meluluhkannya?
Sampai suatu hari, Tuhan seolah memberi petunjuk akan semua keresahanku.
Di siang yang cerah itu, sebuah toren air yang selalu aku abaikan keberadannya, tiba-tiba menarik atensiku.
Toren itu tumpah dengan jumlah air terbuang sangat banyak.
Bahkan tidak ada orang yang cukup peduli untuk mematikannya.
Di bawah toren itu, air membentuk aliran sungai kecil yang berakhir membentuk danau kecil di jalanan.
Seekor kucing betina dengan anaknya menjilati air toren itu, seolah kehausan.
Dan tiba-tiba saja, bukan atas keinginanku, aku mendapatkan sebuah pertanyaan besar di kepalaku.
Kemanakah cinta Ayah pergi?
Setelah kejadian itu, Aku mulai berpikir.
Sekeras apapun hati Ayah, pasti tidak bisa membendung cinta yang begitu banyak dari Ibu.
Ayah harus membagikannya, atau itu akan tumpah dengan sendirinya.
Jika bukan ke Aku dan Ibu, lalu siapa yang menerima cinta Ayah?
Cinta yang selalu Ibu dan Aku dambakan dari Ayah.
Cinta yang selalu ditunggu-tunggu kedatangannya.
Selama bertahun-tahun lamanya.
Dan kini aku dihadapkan oleh sebuah pertanyaan lagi, yang bahkan Aku sendiri tidak kuasa menjawabnya.
Apakah ada anak dan wanita lain yang menerima cinta Ayah?
Aku tahu Ibu telah dibodohkan oleh cintanya kepada Ayah.
Ibu sangat percaya pada Ayah.
Ibu tidak pernah sama sekali marah, kesal dan mengeluh.
Ia wanita paling sempurna di dunia.
Tidak, sepertinya Ibu memang bukan manusia.
Ibu tidak memiliki ego dan emosi layaknya manusia.
Ia sesungguhnya adalah malaikat.
Ia tidak mengeluh ketika Ayah pergi meninggalkan kami berbulan-bulan karena pekerjaan.
Ia tidak protes ketika Ayah bahkan tidak sekalipun memandangnya saat Ibu menyambutnya pulang.
Ia tidak marah ketika Ayah tidak pernah membalas sapaannya.
Ia bahkan tidak marah ketika Ayah tidak peduli padaku.
Hingga suatu hari, rasa penasaranku benar-benar tak terbendung.
Aku tidak ke sekolah hari itu, meski Ibu berpikir sebaliknya.
Aku mengikuti Ayah ke kantor.
Selama itu Aku menunggu, dari fajar terbit hingga malam menjelang.
Aku hanya ingin tahu, dimana Ayah menumpahkan cinta-cinta Ibu?
Tepat jarum jam menunjuk pukul 7, Ayah baru pulang.
Irisku melebar penuh kejut.
Ayah mengusap peluhnya.. di hadapanku.
Wajahnya yang mulai berkerut menunjukkan raut lelah yang amat sangat.
Nafasnya berderu tidak teratur.
Ia hanya butuh tidur, jika tidak melihatku duduk di hadapannya.
Aku, objek yang paling tidak ingin Ia lihat saat itu.
Dan sekarang Aku tahu, Aku hanya perlu dimarahi Ayah.
Atmosfer di dalan mobil mendingin seiring menipisnya jarak kami ke rumah.
Tidak ada serapahan keluar dari mulut Ayah.
Tidak sesuai pemikiranku.
Teringat satu-satunya perkataan Ayah beberapa menit yang lalu, sebelum kami meninggalkan gedung.
"Ayo pulang."
Kami terdiam, nampak tak ada yang ingin membuka pembicaraan.
Bahkan Ayah tidak bertanya mengapa Aku bisa ada di kantornya.
Dan Aku pun juga tidak bertanya bagaimana Ayah bisa mengetahui keberadaanku.
Di jarak sedekat ini, bahkan yang terasa hanya hampa dan kedinginan.
Haruskah menjauh agar yang terasa hanya sukacita dan kehangatan?
Sungguh jika bisa, Aku ingin bertanya pada Ayah sekarang juga.
Dimanakah cinta-cinta Ayah?
Mengapa tidak ada satupun tersisa untukku?
Aku ingin berteriak tepat di dalam hati kaku Ayah.
Benar-benar tidak pedulikah Ayah denganku?
Sedangkan Aku dan Ibu sangat peduli pada Ayah?
Ayah, coba lihat Aku satu kali saja!
Jalanan yang sepi dan panjang itu telah kami lewati dengan keheningan.
Rumah bercat coklat di ujung jalan mulai terlihat, pertanda kami sudah akan sampai.
Ayah memarkirkan mobilnya di pekarangan samping, dan tanpa banyak bicara turun dari mobil.
Aku mengikuti Ayah, masuk ke dalam rumah.
Benar saja, Ayah disambut bukan dengan senyum hangat, namun wajah khawatir dan panik Ibu.
Ibu nampaknya belum menyadari keberadaanku di belakang Ayah.
Ia memegang kedua tangan Ayah, dengan nada hampir menangis mengatakan bahwa Aku belum pulang ke rumah sejak sore.
Ayah.. bahkan Ia tidak mencoba menjelaskan pada Ibu dan berlalu begitu saja.
Selepas kepergian Ayah, sosokku terlihat.
Ibu yang terkejut langsung memelukku dengan erat, mengucap syukur berkali-kali.
Ayah bahkan tidak peduli, lagi-lagi padaku.
Dan malam itu, Aku sudah tidak tahan lagi.
Air mata dan rasa sakitku sudah tak terbendung lagi.
Aku menceritakan semuanya pada Ibu.
Tentang perasaanku, dan cinta Ayah yang menguap entah kemana.
Kini Aku sadar.
Setelah semua apa yang terjadi, tidak akan pernah ada yang berubah.
Hanya ada kelegaan luar biasa di hatiku, yang selama ini selalu sesak bertahun-tahun lamanya, entah apa sebabnya.
Malam itu, Ibu telah menyadarkanku dari segala kebodohanku.
Suara dan belaian lembutnya seolah menarikku kembali ke dunia nyata.
"Sesungguhnya Ayah mencintaimu. Hanya saja Ayah tidak bisa dengan mudah menyatakan rasa cintanya yang besar padamu."
Kalimat itu kudengar lagi, lagi-lagi tanpa kuminta.
Tetapi.. kurasa Aku membutuhkannya.
Aku butuh keyakinan bahwa Ayah memang mencintaiku dan Aku mencintai Ayah.
Kenyataan itu pun tidak merubah segala-galanya.
Ayah tetap dingin dan angkuh, sedang Ibu masih berlaku baik pada Ayah.
Dan Aku masih dinomorsekiankan oleh Ayah.
Tetapi semakin Aku memahami Ayah, semakin Aku bisa melihat kilatan cinta di mata tajamnya.
Ya, cinta Ayah tercurah padaku.
Seperti kata Ibu, begitu besar hingga tak dapat tersampaikan.
Ayah yang seharian bekerja, membanting tulang demi menghidupi Aku dan Ibu.
Ayah yang tak pernah mengeluh, hanya menyimpan rasa sakit juga lelah untuk dirinya sendiri.
Dan dia tidak akan membiarkan Aku, anak semata wayangnya mengetahui segala kesulitan dan kesedihannya, yang Ia sembunyikan rapat-rapat, dibalik 'tembok tak tertembus'.
Ia hanya ingin Aku bahagia dengan kehidupanku sendiri, dengan masa depan yang cerah seperti harapannya padaku.
Dan begitulah Ayah.
Sosok dingin yang menemaniku hampir sepanjang hayatnya.
Pertanyaan-pertanyaan yang dulu memenuhi benakku hilang entah kemana, aku pun tak peduli.
Yang tersisa kini hanya rasa hangat dan nyaman.
Kucing betina dan anaknya itu adalah Ibu dan Aku.
Dan luapan air itu adalah cinta Ayah yang tak pernah terhenti.
Sekaku apapun hati Ayah, Ia tetap Ayahku.
Aku bersyukur, karena dicinta oleh Ayah.
Ayah, ketahuilah.
Aku juga mencintai Ayah.
##
Comments
Post a Comment