KAK FRANS: PART 1
"ECA!" Blurbb! Kepalaku pening sekali. Kaki, tangan, seluruh tubuhku tak dapat digerakkan. Sakit menggerayangi seluruh panca inderaku. Dan aliran air ini, berlomba-lomba memenuhi paru-paruku. Aku merasa, aku tidaklah di tempat seharusnya aku berada. "Eca, tenanglah." Mataku mengerjap pelan. Sosok itu memanggilku dari daratan. Namaku terus dipanggilnya. Dan aku di sini tak berdaya, bahkan belum sempat menyahutnya. Ia meraih tanganku, membawa tubuh lemahku ke permukaan, tempat seharusnya aku berada. Aku hanya dapat menangkap wajah khawatir yang familiar sebelum kesadaranku tertelan sepenuhnya.
Aku tidak tahu bagaimana aku bisa di tempat ini. Sebuah ruangan kecil bernuansa biru, dengan aku yang berbaring di atas tempat tidur. Ini bukan tempat tidurku, ataupun ruanganku. Ini tempat asing tempat ku berada setelah aku membuka mata, bangkit dari tidur panjangku. "Eca," panggil seseorang yang berasal dari pintu. Mendengar panggilan masa kecilku, aku melirik ke samping. Mataku masih terasa perih dan berair, dan belum menyesuaikan dengan cahaya terang yang berasal dari luar jendela. "Bagaimana keadaanmu?" tanya sosok itu lagi. Mendengar suaranya yang dalam dan lembut, dia adalah seorang pria. Otakku yang mungkin sedikit tergeser akibat benturan kecelakaan yang lalu membuatku sejenak berpikir, apakah aku ada di surga dan pria yang memanggilku dengan nama kecilku ini adalah malaikat? Namun kuenyahkan pikiran tersebut tatkala pria itu menggenggam tanganku, sedang satu tangannya lagi mengelus puncak kepalaku lembut. Aku tahu dia sedang tersenyum, tetapi entah mengapa, sepertinya kelenjar air mataku sedang aktif-aktifnya, sehingga lagi-lagi aku tidak dapat mengenalinya. Pria tak dikenal ini lalu mengusap wajahku dengan lap. Aku akui, udara disini cukup panas dan pengap, sehingga mungkin aku berkeringat banyak. Aku yakin, orang lain tidak mungkin berbuat sejauh ini padaku, jika memang kami baru pertama kali bertemu. Tetapi melihat sosok dan suara pria ini yang familiar, ditambah panggilan kecilku, membuat aku yakin bahwa kami saling mengenal dalam waktu yang lama satu sama lain. Bahkan mungkin ia mengenalku sejak aku kecil. Ya, pemikiranku yang satu itu membuatku sedikit tenang. Jujur saja, bahkan teman sebayaku yang sejak kecil bermain denganku tidak pernah memanggilku dengan sebutan 'Eca', walaupun mereka tahu itu. Dan mereka yang memanggilku dengan sebutan itu biasanya adalah orang-orang yang lebih tua dariku dan memang benar-benar sangat dekat. Tetapi kurasa, aku tidak pernah dekat dengan seorang pria yang umurnya diatasku, kecuali teman-teman orangtuaku. Lantas, siapa pria ini?
Aku sadar kami telah berada di ruangan pengap ini selama 15 menit. Dia duduk di sampingku, entah apa yang ia lakukan. Mungkin karena efek otak yang tergeser juga, aku sempat meyakini bahwa pria ini adalah bapakku. Namun sedetik kemudian aku tertawa. Suara bapak tidak seperti ini. Dan jika itu benar-benar bapak, mungkin beliau sudah panik setengah mati dan menelpon sana-sini. "Eca ingin makan?" tanya pria itu, memecah keheningan selama 15 menit. Leherku masih terasa sakit, ya mungkin juga akibat benturan, sehingga aku masih belum dapat menggerakan kepalaku. Aku hanya bisa terdiam membisu. Mulutku pun terasa kelu dan kering. Sangat kering dan mungkin aku dehidrasi. Puk! Sebuah benda yang basah dan dingin menempel di bibirku yang sedikit terbuka. Aku tahu pelakunya adalah dia, namun lagi-lagi aku tak dapat melihat sosoknya dengan jelas. Ia menekan lap yang menempel di bibirku perlahan, membasahinya. Kemudian aku merasa sebuah benda seperti sedotan mampir ke bibirku. "Minumlah," pintanya. Aku berusaha menggerakkan tulang rahangku yang kaku dan menyedot sedotan itu. Air kelapa yang sejuk mengalir melalui kerongkonganku, memberikan kesegaran tiada tara. Diam-diam aku berterimakasih padanya. "Kakak bantu bangun jika Eca mau makan," ucapnya kemudian. Pikiranku bekerja kembali. Huh? Kakak? Siapa sosok di kehidupan pribadiku yang aku panggil kakak? Sedang kakak kandung saja aku tidak punya. Kakak kelasku kah? Aku menepis pikiran tersebut. Mereka bahkan tidak tahu nama kecilku! Pikiranku mundur kembali ke beberapa waktu yang lalu, sebelum aku kehilangan kesadaranku. Tempat ini.. tempat apa ini? Seingatku, aku pergi bermain ke pantai. Dengan siapa? Bersama teman-teman kuliahku. Untuk apa? Ya, sedikit refreshing karena tempat kuliahku memang tidak jauh dari pantai. Lalu apa yang terjadi? Kurasa terakhir aku sedang bermain di dalam air. Ya, memang sedikit dalam, namun masih dalam batas aman. Aku tidak menggunakan alat pelampung apapun karena aku bisa berenang. Tetapi tiba-tiba ombak bergulung tinggi tepat di depan mataku, dan aku tidak dapat melawan. Tak sampai sedetik kemudian aku sadar aku terseret ombak sampai ke laut yang dalam, yang mana itu daerah terlarang untuk bermain. Aku merasa dikelilingi air hingga seluruh tubuhku menolak bergerak. Dan kehilangan kesadaran sampai berada di tempat asing ini. Ya Tuhan, kukira aku telah mati! Sungguh mujizat jika aku masih bernafas! "Kenapa, Eca?" tanya pria itu, menginterupsi otakku yang sedang berusaha keras mengingat kembali. Sungguh jika aku dapat menoleh dan berbicara, aku ingin sekali melihat wajah pria yang telah sekian lama di sampingku ini dan mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya karena telah menyelamatkan nyawaku. Sungguh, aku berhutang budi padanya.
Comments
Post a Comment