KAK FRANS: PART 2

Aku merasa ada yang menepuk-nepuk pundakku. Aku membuka mata, dan nampaknya sudah senja. Cahaya matahari yang menyeruak dari jendela nampak berwarna jingga kemerahan. Sepertinya aku tertidur hingga sore. "Eca, ayo pulang." Suara yang sama. Kuyakin, itu masih orang yang sama. "I-Iya," jawabku dengan serak. Nampaknya suaraku belum kembali sepenuhnya. Aku terkejut tatkala ia mengusap air mata di kedua mataku dengan jarinya. Kesadaranku telah kembali sepenuhnya. Karenanya, aku dapat melihat wajah pria itu. Pria itu.. seseorang yang benar-benar kukenal secara dekat. Aku mengenalnya sejak lama, bahkan mungkin sejak aku masih di kandungan mamaku. Keluarga kami saling mengenal dengan baik sejak bertahun-tahun yang lalu. Dan dia kini berada di depanku. Pria yang dulu aku suka, namun tiba-tiba pergi untuk kuliah di luar kota saat aku masih SD, sehingga kami tidak bertemu lagi lebih dari 6 tahun lamanya. Ia yang tidak memberi kabar apapun padaku selama itu. Bahkan masih menganggapku adik kecilnya yang lucu ketika kami bertemu kembali dua tahun yang lalu, di momen yang tidak tepat. Ia baru datang ketika upacara pemakaman kakekku. Setelah 6 tahun aku menunggu kabar darinya. Dia adalah Kak Frans. Dia yang kuanggap kakak dulu, ketika aku masih kecil dan membutuhkan sosok kakak. Menyayangiku layaknya adiknya sendiri. Selalu tersenyum padaku dan mengajakku bermain. Suka memanggil-manggil namaku, menunjukkan kamarnya yang nyaman sekaligus barang-barangnya, dan yang paling memalukan ia suka memelukku, mencubit pipiku, juga mengacak rambutku. Itulah yang dulu membuatku menjadi tidak suka padanya dan menghindarinya sekian lama. Tidak menyapanya, merengek sambil menangis agar tidak diajak main ke rumahnya, menyembunyikan diriku sendiri ketika dia mencari dan memanggil-manggilku, bahkan bersikap ketus seolah tidak mengenalnya. Hal itu aku lakukan selama bertahun-tahun hingga aku mendapatkan karmanya. Ya, ia pergi tanpa pamit untuk kuliah. Tak ada salam perpisahan, seolah kami memang tidak pernah akrab. Dan dia kembali tanpa bilang-bilang, dan tak menyapaku juga saat mata kami bertemu setelah 6 tahun dari kejauhan. Aku kembali mendengar suara berat nan dalamnya saat aku menyalam tangannya dengan malu-malu, karena jujur aku masih menyukainya. Penantianku selama 6 tahun tak sia-sia. "Halo, Eca," sapanya saat tangan kami saling tertaut. Bahkan matanya tidak kutatap. Aku hanya bergumam, "Iya, Kak," yang sudah pasti dia tidak mendengarnya. Dan setelah malam itu, kami tidak bertemu kembali, sampai pada hari ini. Apa yang sedang Tuhan rencanakan, sampai membuat hatiku menunggu 10 tahun lamanya? Menunggu ia mengacak rambutku dan mencubit pipiku kembali? Apakah hari itu menjadi hari terakhir, yang tak akan terulang kembali selamanya? Jika iya, mengapa takdir mempertemukan kami kembali? Apa takdir sedang bermain-main dengan perasaanku? Bagaimana jika aku jatuh cinta lagi dengannya? Apakah aku juga akan dihempas jatuh ke tanah seperti dulu? Dan ia kembali meninggalkanku dengan hati yang hancur berkeping-keping?


Tubuhku masih terasa sangat lemah setelah tidur yang panjang. Aku bahkan tidak dapat duduk dengan baik. Akhirnya di sinilah aku. Aku berada dalam dekapan hangatnya, diantar menuju mobilnya. Dapat kulihat dari sini. Rahangnya tegas, dengan sedikit kumis di atas bibir kasarnya. Wajahnya sangat tampan, lebih tampan dari 2 tahun yang lalu. Kulitnya kecoklatan terbakar sinar matahari. Rambutnya berkibar seiring diterpa angin sore. Ia sungguh sosok yang sempurna. Dan hal itu tidak pernah berubah sejak dulu. Setelah sampai di mobilnya, Kak Frans mendudukkanku di kursi samping sopir. Jantungku tiba-tiba berdetak sangat kencang, saat pria yang usianya 6 tahun di atasku itu duduk dengan jarak kurang dari 1 meter di sebelahku. Bahkan wangi tubuhnya tertangkap dengan jelas oleh indera penciumanku. "Eca, kamu pulang ke mana?" tanyanya dengan menatap dalam tepat di irisku. Aku yang salah tingkah membuang pandangan ke bawah, menatap kunci stang yang tidak seharusnya kutatap. "Kos," jawabku pelan, bahkan mungkin hampir tidak terdengar. Dapat kudengar ia terkekeh sebentar, lalu melanjutkan bicara. "Beri tahu jalannya, ya Eca. Kakak antar," ucapnya lembut, seiring ia menancapkan gas meninggalkan kawasan pantai. Dan aku hanya terdiam karena malu. Sungguh aku ingin merutuk pada diriku sendiri. Mengapa bisa aku merepotkan orang lain seperti ini? Orang yang jelas-jelas tidak perlu bertanggungjawab atas kecelakaan yang aku alami dan bahkan kami tidak terlalu akrab. Aku jadi merasa tidak enak. Dan juga, jika Kak Frans melapor pada orangtuaku, mungkin besok aku akan ditarik pulang ke kampung halaman. Mengapa kami bertemu di tempat dan saat yang tidak tepat? Suasana mobil Kak Frans begitu hening. Tidak ada lagu ataupun pembicaraan yang tercipta. Hanya hening. Ya, aku tahu Kak Frans adalah pria yang pendiam dan tidak banyak bicara. Itulah yang membuat mama begitu menyukai sifatnya yang gentleman. Sikap loyal dan sopannya yang juga membuat bapak membicarakannya terus-terusan. Menantu idamankah? Diam-diam aku melirik Kak Frans yang sibuk menyetir, memecah jalanan sore yang ramai di alun-alun kota. Tatapan matanya yang tajam membuatku berkali-kali tenggelam dalan pesonanya, yang sulit sekali aku tolak. Seberapa banyakpun aku menyukai laki-laki, tetap saja pilihanku selalu jatuh padanya jika membanding. Dan ketika aku membayangkan calon suami dan menantu idaman di masa depan, benakku selalu melayang padanya, pria yang telah memenuhi pikiranku selama 10 tahun terakhir. Dia juga orang yang meninggalkanku sendirian dalam perasaan ini. 


Laju mobil hitam ini berhenti, tetapi bukan di kosanku, melainkan di sebuah rumah makan yang sederhana. "Eca, kita makan dulu, ya," ujarnya. Aku mengangguk. Dan lagipula aku belum makan sejak siang. Ia melepas seatbeltnya, lalu turun untuk membuka pintuku. Aku memang sudah berganti baju tadi, dibantu petugas kesehatan pantai sebelum ke mobil. Untunglah tasku dibawa serta juga ke unit kesehatan. Ia menggenggam tanganku dan menuntunku masuk rumah makan. Sungguh di titik ini, aku merasa berhutang budi sungguh banyak pada Kak Frans. Ia adalah pria yang baik, bahkan kepadaku. Aku jadi bertanya-tanya sendiri. Pria sebaik dan setampan ini, apakah Kak Frans sudah memiliki kekasih? Tiba-tiba aku tersentak oleh pertanyaanku sendiri. Ah, ya. Benar juga. Kekasih. 

Comments

Popular Posts