KAK FRANS: PART 3
Pasti banyak perempuan yang ingin memiliki pasangan idaman seperti Kak Frans. Penuh perhatian dan kasih sayang. Dan Kak Frans sudah usia menikah, 25 tahun. Ia juga sudah bekerja sekian lama. Aku yakin Kak Frans bahkan sudah memiliki calon tunangan, seorang gadis jelita dan cerdas yang pantas bersanding dengan Kak Frans. Gadis yang lebih layak menerima seluruh curahan kasih dan perhatian dari pria sempurna yang diidam-idamkan banyak perempuan. Gadis yang begitu beruntung. Dan aku menjadi iri karenanya. Ayolah, sebenarnya aku ini siapa? Kami hanya satu lingkungan, bukan berarti kami berjodoh, bukan? Walaupun aku mengetahui seluk-beluk keluarganya secara jelas, bukan berarti aku pantas jadi menantu orangtuanya, bukan? Membayangkan itu membuatku sedih. Ya, tidak seharusnya seperti ini. Tidak seharusnya aku mengharapkan hidup berbahagia bersama orang yang sudah kuanggap kakak sendiri. Ia pantas berbahagia dengan gadis terbaik pilihannya. "Eca," panggil seseorang, membuyarkan lamunanku. Aku tersentak. Kak Frans berada di depanku, melambaikan tangannya tepat di depan mataku. Ia lalu tersenyum tipis. Wajahku sepertinya memerah sekarang. Kutundukkan kepalaku dalam-dalam. Ya Tuhan, mengapa harus ketahuan melamun seperti ini, sih? "Makanlah. Nanti makananmu dingin," ujarnya. "Terimakasih, kak," gumamku yang aku yakin ia masih bisa mendengarnya. "Tidak masalah, Eca," jawabnya. Dan di ujung hari yang tidak diduga-duga itu, aku habiskan bersama orang yang menempati suatu tempat spesial di hatiku, Kak Frans.
"Eh kawan, ayo ke pantai," ucap salah satu teman kosanku, Ratu. Kami semua di kamar kosan menatap ke arahnya, berusaha mencari keseriusan di balik nada agak bercandanya itu. Mawar, temanku mengernyit. Ia sampai menghentikan kegiatan menulis laporannya akibat interupsi dari Ratu. "Hah, yang benar saja. Kita baru saja selesai UTS," katanya malas, yang didukung oleh sebagian temanku yang lain. Aku bahkan sampai mematikan radio di ujung ruangan agar pembicaraan terdengar jelas. "Kita ini sudah setahun, lho ngampus di sini. Dan kampus kita dekat pantai. Kenapa kita tidak ke coba refreshing ke pantai?" ujar Ratu. Teman-temanku di kamar kosan; Kiki, Vega, dan Maya mengangguk-angguk setuju. Betul hal itu. Kupikir memang kami butuh refreshing. Walaupun sudah setahun kuliah, jujur saja aku belum pernah berkunjung ke pantai yang kata seniorku indah seperti di Nusa Dua. Ya, itu wajar karena kegiatan mahasiswa tingkat satu memang ada saja dan tidak pernah berhenti-berhenti. Baru saja kemarin aku mengikuti UTS, jadi hari ini sampai seminggu ke depan mungkin agak sedikit santai. "Kamu sedia tumpangan mobil 'kan, Maya?" tanya Kiki, sedikit mendesak Maya agar memberi mereka tumpangan menuju pantai. Semua setuju. Ya, hari esok adalah hari dimana kami akan berlibur. Aku tidak sabar bermain di pantai. Jadwal persiapan kulian serta kuliah yang padat membuatku mungkin sudah 2 tahun lebih tidak berlibur ke pantai. Mungkin liburan besok bisa sedikit mengobati rasa rinduku pada pantai.
Kami sampai di pantai sore sekali, sekitar jam 15 karena kami berangkat sejak jam 14. Ya, alasannya simpel. Kami hanya menghindari panas matahari, yang tentu ditakuti kaum wanita dan agar bisa menikmati sunset di pantai. Pantai sangat ramai oleh pengunjung hari itu. Wajar, karena ini adalah akhir pekan. Tanpa berlama-lama, kami langsung turun daru mobil dan menggelar tikar untuk barang-barang kami. Setelah itu, kami berganti baju renang dan bermain-main di pantai. Kami saling melempar pasir dan membasahi satu sama lain dengan air pantai yang asin. Hari itu menjadi hari yang sangat membahagiakan bagi kami, aku dan sahabat-sahabat sekamarku, karena kami dapat melepas penat dan menghabiskan waktu bersama. Namun tiba-tiba topiku terbawa oleh angin kencang. Topi itu terbang hingga jatuh di atas permukaan air di daerah yang agak dalam. Aku tahu jika aku ke sana akan membahayakan nyawaku, apalagi ombaknya cukup intens. Namun aku mengenyahkan pemikiran itu. Mungkin tak apa jika sebentar saja. Lagipula aku bisa berenang. Dan topi itu baru saja kubeli, tidak mungkin sudah lenyap ditelan lautan. Aku berjalan perlahan untuk meraih topiku. Namun sebelum aku sempat meraihnya, aku merasa tubuhku dihantam ombak yang besar dan tertarik hingga ke lautan dalam, bahkan sebelum aku bisa menyelamatkan diriku sendiri. Dan suara terakhir yang kudengar adalah panggilan seseorang yang memanggil nama kecilku, sebelum semuanya menjadi gelap.
Aku masih tidak percaya, bahkan ketika jam masih menunjukkan angka 2 dini hari. Hari yang kukira akan menyenangkan ternyata menjadi jauh lebih menyenangkan, walaupun harus kudapat dengan nyawaku yang menjadi taruhannya. Aku duduk di tempat tidurku. Kulihat sekelilingku, dimana teman-temanku sudah tertidur dengan nyenyak. Beberapa jam yang lalu, mereka menginterogasiku dengan gurat khawatir tercetak jelas di wajah mereka. Mereka memang diminta kembali oleh Kak Frans karena hari sudah gelap, sehingga hanya Kak Frans yang menungguku hingga siuman. Selain itu mereka juga membawa barang-barangku kembali dan menyisakan baju ganti saja untukku. Sungguh, mereka memang sahabat-sahabatku yang baik, lucu dan perhatian. Aku merasa terhibur dengan keberadaan mereka yang anehnya, saling melengkapi kekonyolan masing-masing, tak terkecuali aku. Setelah mengantarku pulang dengan selamat, Kak Frans pamit untuk kembali ke penginapan. Sepertinya Kak Frans sedang liburan di sini. Itulah mengapa kami bisa bertemu di pantai walaupun tempat tinggal kami seratus kilometer jauhnya dari sini. Masih terekam jelas adegan itu di kepalaku, dimana Kak Frans mengacak rambutku dan membisikkan, "Hati-hati, Eca," padaku. Kurasa wajahku memerah kembali mengingat itu. Aku sungguh malu. Mengapa Kak Frans selalu membuatku salah tingkah dan kepikiran sampai dini hari!?
Comments
Post a Comment