KAK FRANS: PART 4
Pagi buta ini aku memutuskan untuk bangun. Ya, semalam aku tidak bisa tidur, merenungi kejadian hari kemarin. Aku berjalan keluar kamar, menuju taman belakang kosan yang terdapat kolam ikan besar serta tanaman bunga yang indah. Sepertinya aku tidak akan bertemu dengan Kak Frans lagi. Seperti dua tahun yang lalu. Kami hanya bertemu satu malam, lalu tidak berjumpa lagi selama dua tahun. Mungkin juga setelah perjumpaan kami kemarin kami tidak bertemu lagi hari ini, hari esok atau bahkan seterusnya sampai waktu yang tidak ditentukan. Entah dua tahun lagi, atau bahkan lebih lama. Sesungguhnya Tuhanlah yang menjadi dalang dari semua permainan takdir ini, yang terkadang membuatku kebingungan hingga bertanya-tanya, mengapakah ini semua secara tiba-tiba terjadi padaku? Aku mendudukan diriku di pinggir kolam ikan, memandang takjub bulan yang masih senantiasa menunjukkan eksistensinya di atas langit temaram sana, walau hari sudah subuh. Bulan, dengarlah permohonanku. Sekali saja, Bulan, sekali saja. Pertemukan aku dengan dirinya, pujaan hatiku. Aku ingin menyampaikan sesuatu padanya. Rasa hutang budi, terimakasih, dan perasaan terpendam yang belum sempat tersampaikan. Bulan, dan jika kau bisa, sampaikan pesanku pada dirinya, bahwa aku masih senantiasa menunggu dan mencintainya. Katakan pada dirinya, bahwa aku tidak pernah lelah mengejarnya, dan mengharapkannya bisa melihatku lebih dari sekadar adik manis yang lucu, namun gadis yang memiliki rasa lebih padanya. Bulan, terimakasih. Sungguh keindahanmu bisa mengobati rasa rinduku yang sudah 10 tahun kupendam padanya.
"Ecaaa!!" Aku mendengar jeritan anak laki-laki dan perempuan dari dalam sebuah rumah sederhana berpagar tinggi. Ya, rumah ini adalah rumah Pak Agustinus, teman orangtuaku yang juga merupakan teman dekat kakek-nenekku. Pagar tinggi itu terbuka, dan tiba-tiba saja aku dipeluk dengan begitu eratnya oleh anak laki-laki yang kukenali sebagai Kak Frans. Pelukan lainnya menyusul di belakangku. Dia adalah Kak Ratna, kakak perempuan dari Kak Frans yang berusia 10 tahun di atasku. Dan sekarang aku seperti diperebutkan dua orang kakak beradik ini. Aku merasa risih dan tidak nyaman. Apa-apaan, sih, kedua orang ini setiap aku berkunjung! "Eca punya aku, tahu! Kamu jangan asal peluk aja!" ucap Kak Ratna dengan nada kesal. Ia lalu melepaskan pelukannya dan berkacak pinggang. Kak Frans, bocah kelas 6 SD itu memelukku semakin erat, menenggelamkan tubuh kecilku di dalam dadanya, seolah tidak ingin aku direbut orang lain. Hal itu sontak mengundang gelak tawa dari orangtua yang hadir di sana. Bahkan mama berkata bahwa Kak Ratna dan Kak Frans sayang juga gemas padaku. Aku tidak dapat melawan tenaga bocah yang jauh lebih tua dariku ini. Kak Frans baru melepaskan dekapannya ketika orangtua kami masuk ke ruang tamu Pak Agustinus. Ia menarikku ke kamarnya di lantai atas. Kak Ratna, remaja SMA itu hanya mengekor kami dari belakang. Kami bertiga bermain di dalam ruangan itu, mengobrol bersama hingga puas. Bahkan pipi dan rambutku selalu jadi bahan mainan mereka, sampai aku merasa kesal dan bosan. Bagi mereka, rasanya berat jika aku harus pulang, karena urusan orangtua kami telah selesai. Namun bagiku itu menyenangkan, aku aku tidak suka jadi bahan bercanda mereka. Aku memasang wajah cemberut dari menghindari ucapan sampai jumpa mereka. Sampai ke mobil, aku menidurkan diriku di jok, enggan melambaikan tanganku ke luar jendela. Padahal mereka memanggil-manggil namaku. "Eca, main lagi, ya!" seru Kak Frans dan Kak Ratna. Namun aku menghiraukannya dan pura-pura tidur. Mama dan bapakku tertawa kecil. "Eca, kamu kenapa, sih, menghindar begitu? Kak Frans dan Kak Ratna itu sebenarnya gemas banget sama kamu," kata mama dalam perjalanan pulang. Tetapi aku tidak peduli. Tetap saja, aku tidak suka pipi dan rambutku dijadikan mainan! Dan aku merasa kapok untuk ikut orangtuaku berkunjung kembali ke rumah Pak Agustinus.
Dan benar saja, itu seolah menjadi karma bagiku, bertahun-tahun kemudian. Kak Ratna dan Kak Frans merantau ke luar kota tanpa memberitahuku. Bahkan aku tidak tahu kapan mereka pulang atau kembali lagi. Mereka bahkan tidak ingin menemuiku saat pulang. Tiba-tiba sudah kembali saja. Aku merasa sakit hati. Apakah mereka lupa dengan kebersamaan kami di masa lalu? Apakah mereka berpikir aku tidak menyukai mereka? Bahkan aku merasa sikap Kak Frans menjadi berubah padaku. Dulu ia begitu aktif mengajakku mengobrol dan bermain. Namun kini, ia hanya diam ketika bersamaku saat di mobil. Begitupun di rumah makan. Hanya didominasi dentingan garpu dan sendok, sisanya dipenuhi keheningan. Ia hanya berbicara seperlunya saja denganku, seolah aku tanggungjawab yang harus segera diselesaikan, dan setelah itu dibiarkan. Hal ini semakin memperkuat asumsiku bahwa Kak Frans sudah memiliki tambatan hati. Tentu ia tidak ingin berlama-lama denganku, karena mungkin saja kekasihnya menunggu di penginapan. Dan aku pun juga mendengar percakapannya ketika kami keluar dari rumah makan dengan seseorang di telepon yang menanyakan keberadaannya dan menyuruhnya cepat kembali ke penginapan. Apa mungkin kekasihnya menunggu? Sedang di sini ia bersama gadis lain? Dan anehnya, Kak Frans mengatakan bahwa aku adiknya, bukan teman ataupun tetangganya sebagaimana mestinya. Padahal semua orang tahu, Kak Frans tidak memiliki adik. Setelah itu, ia langsung menutup telepon dan kami melanjutkan perjalanan hingga sampai ke kosanku.
Setelah hari itu, aku tidak bertemu lagi dengan Kak Frans, pun aku tidak memiliki nomor teleponnya. Entahlah, mungkin ia sudah kembali ke kampung halaman dan lagi-lagi tidak mengucapkan salam perpisahan kepadaku. Setelah berjalan-jalan keliling komplek pagi itu untuk menenangkan diri, aku dikejutkan dengan sepucuk surat beramplop putih dari ibu kos sepulang jalan. Katanya, itu baru diantar pagi tadi saat aku pergi jalan, dari kakakku, seorang pria tinggi berkulit sawo matang bernama Frans.
Aku segera berlari ke kamar dan membaca surat darinya yang kutunggu-tunggu. Tulisan tangannya yang indah membuatku terpesona sejenak, apalagi dengan salam pembuka yang ditulisnya, "Dear, Eca." yang semakin membuatku melayang hingga langit ketujuh. Aku membaca dengan saksama suratnya, sambil tersipu malu. Dalam surat itu, menceritakan semuanya, mengapa ia bisa berada di pantai, teman-temannya, perasaannya dan keterkejutannya saat melihatku di pantai. Dan aku bisa merasakan kekhawatirannya saat ia melihatku terseret ombak hingga ia tanpa pikir panjang berlari menerjang ombak demi menyelamatkanku. Begitupun saat menghabiskan waktunya bersamaku. Di akhir surat, ia mengatakan bahwa ia tidak sabar berjumpa denganku lagi. Ia juga meminta maaf karena pulang tanpa pamit karena terburu-buru akibat kecelakaanku dan harus kembali bekerja. Aku tersenyum, membaca berulang-ulang tulisan pangeran berkuda putihku hingga tersipu. Apalagi ia juga berpesan agar aku menjaga diriku dan mendoakan dirinya. Aku janji tidak akan membuang surat ini. Mungkin aku akan menempelnya di samping tempat tidurku agar dapat membacanya setiap pagi, membayangkan setiap hari Kak Frans bercerita padaku. Sungguh, ini liburan tengah semester yang membahagiakan untukku, dan aku tidak sabar menulisnya dalam buku harianku, agar tidak pernah terlupakan.
Untunglah, mungkin Kak Frans tidak melapor pada orangtuaku atas apa yang telah terjadi pada putri semata wayangnya. Buktinya, sampai detik ini masih adem-adem saja. Kalau tidak mungkin sejak tadi malam aku sudah disuruh berkemas untuk pulang. Dan aku bersyukur karenanya.
Comments
Post a Comment