SELF-REFLECTION STORY: CAMOUFLAGE FACE PAINT


Aku ingat hari itu. Hari yang benar-benar tidak bisa aku lupakan. Waktu itu hari sudah sore. Latihan taktik regu senapan yang kulaksanakan dari pagi betul-betul melelahkan. Rasanya otakku sudah tak sanggup menerima materi lagi. Sampailah ketika waktu sholat maghrib. Aku bersyukur karena akhirnya latihan sudah selesai. Aku masih di kamar mandi untuk pembersihan diri ketika kudengar suara adzan. Dan mulai detik itulah, kesalahanku dimulai.


Seharusnya ketika suara adzan berkumandang, kami semua berkumpul di serambi untuk melakukan ibadah, termasuk yang Nasrani. Tetapi aku dengan segala kebodohanku, tetap melanjutkan pembersihan di kamar mandi. Aku terlalu menyepelekan waktu ibadah. Kupikir, "Sekali-kali tidak apa-apa, mungkin agak terlambat. Aku lelah sekali." Aku tidak tahu, hari itu adalah hari apesku, betul-betul apes. Ibadah yang biasanya tidak didokumentasikan, tiba-tiba didokumentasi pengasuh. Dan yang lebih apes lagi, hanya aku yang tidak hadir. Hari itu tanggal 12 Juli 2023 sore hari, untuk pertama kalinya aku memasang samaran di wajahku sebagai hukuman. Dan dengan berat hati, aku pun menghadap pengasuh.


Ketika pengasuh mengatakan aku harus memakai samaran selana 3 hari ke depan sebagai hukuman, hatiku langsung dag-dig-dug tak karuan. Aku panik, keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Apa aku tidak salah dengar? Yang benar saja! Mengapa tidak hukuman pembinaan fisik saja? Aku ingin sekali protes tak terima. Ayolah, aku baru kali ini terlambat ibadah. Dan yang lebih parahnya lagi, samaran di wajahku tidak boleh dilepas sama sekali seharian dalam kegiatan apapun. Aku benar-benar tidak tahu lagi mau berkata apa. Satu-satunya kata yang keluar dari mulutku hanyalah, "Siap."


Keesokan harinya, aku melaksanakan hukuman hari pertamaku. Dengan ogah-ogahan, aku memasang samaran di wajah, juga dibantu oleh temanku agar rapi. Aku malu sekali. Rasanya seperti ingin tenggelam ke dasar laut yang paling dalam, kalau perlu Palung Mariana. Semua orang yang menjumpaiku bertanya, "Kenapa wajahmu disamar?" Sebab wajahkulah yang paling kentara berbeda se-batalyon, atau mungkin sedunia saat itu. Aku berusaha menjelaskan pada teman-temanku kronologinya, walau sebenarnya aku malas mengingat-ingat kejadian kemarin. Setiap aku berjalan, kemanapun aku pergi, aku selalu jadi pusat perhatian. Aku tahu orang-orang berusaha menahan tawa di depanku. Dan setelah aku lewat, barulah mereka senyum-senyum tak jelas. Aku sangat dongkol dan marah. Hari pertamaku dengan samaran betul-betul menjengkelkan.


Hari kedua, aku terburu-buru memakai samaranku, sebab aku bangun kesiangan. Sudah kuprediksi, kesialanku hari ini mungkin jadi berkali-kali lipat karenanya. Benar saja. Samaranku kukerjakan dalam barisan keberangkatan apel pagi. Kami berangkat lebih awal karena hari ini ada bimsuh Merpati Putih di Lapangan Sapta Marga. Sudah dimarahi pengasuh, diteriaki teman-teman, merusak barisan, dan hampir membuat semuanya terlambat. Untunglah tidak terlambat, kalau tidak mungkin aku sudah dicap biang kerok, yang membuat permasalahan pagi-pagi. Namun sayang seribu sayang, hasilnya samaranku tidak rata, tidak rapi, mencong-mencong, dan lagi bibirku lupa disamar. Segera aku mengambil kotak samaran asal dari kantong celanaku tanpa kulihat warnanya, entah hitam atau hijau. Kuoleskan asal ke bibirku. Penampilanku hari itu benar-benar yang terburuk sedunia.


Aku tidak tahu kenapa semakin banyak orang yang tertawa melihatku. Akupun bertanya pada temanku, "Ada apa di wajahku?" Temanku mengatakan bahwa bibirku berwarna hitam seperti penyanyi metal, sambil juga menahan tawa. Aku melotot kaget. Ya Tuhan, kenapa harus warna hitam!? Bertambah lengkaplah rasa maluku. Pelatih Merpati Putihku, Pak Wawan bahkan sampai me-noticeku dan menunjukku menjadi peraga. Bayangkan, wajah samaran-penyanyi metalku terekspos di seluruh penjuru Akmil. Akupun sempat berpikir, besok hari terakhir samaran. Aku berniat untuk pura-pura gila, alias tidak memakai samaran. Rasa maluku sepertinya sudah lebih tinggi dari angkasa raya. Tetapi kemudian niat itu kupatahkan. Aku tentu tidak ingin hukumanku diperpanjang.

 

Pesan moral yang kudapat dari peristiwa paling mengesankan sekaligus memalukan selama Diksarmil ini adalah, tetap disiplin dan taati aturan. Aku merenungi kejadian ini sebagai bahan evaluasiku di masa depan, agar aku menjadi pribadi yang lebih baik dalam memanajemen waktu, menghargai waktu, dan bergerak cepat. Setelah kejadian itu, aku jadi lebih waspada dan selalu mengawasi waktu-waktu penting, seperti saat ibadah, sehingga aku tidak terlambat ibadah lagi.


#KawahChandradimukaAkmil2023
#KomcadCadetUnhan

Comments

Popular Posts