PENUGASAN PERTAMA
Bogor, 26 April 2024, untuk diriku di masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Riuh terdengar dari koridor poli Batalyon Infanteri 202/Tajimalela. Ya, aku dengar. Bisikan itu adalah bisikan yang sama saat aku tiba di RSUD Kota Singkawang, tempatku menghabiskan masa Latsitardanus-ku bulan lalu. Tidak aneh memang, sebab aku sudah seringkali mendengar suara orang keheranan seperti itu. Heran akan titelku, dengan sosokku. Kini aku dengan seragam PDH-ku hanya diam di tikungan koridor, takut menyaksikan reaksi orang-orang itu ketika melihatku.
"Dokter Tessa?" Aku menengokkan kepalaku ke sumber suara di belakangku. Astaga. Aku baru saja ketahuan melamun oleh seorang Komandan Kompi Senapan C, Kapten Angga yang sebetulnya bertemu denganku di parkiran. Sejak masih berstatus kadet, ketika pendidikan di ksatrian dulu, aku memang terkenal pribadi yang sedikit pemberontak karena sifatku yang gagah berani dan tidak tahu malu. Bukan dalam arti yang negatif, melainkan positif. Keberanianku yang terlampau besar ini justru pernah berujung penurunan Komandan Resimen Korps secara sedikit konyol, walau akhirnya batal. Keberanianku ini terbawa sampai setelah pelantikan perwira. Aku bahkan berani bertanya pada pria yang pangkatnya satu klik di atasku ini mengenai lokasi kantor poli Yonif. Sebuah prestasi, bukan?
"Sudah ketemu kantornya?" Suara bass itu membuyarkan lamunan kilas balikku. Aku berusaha memejeng senyum ramah. "Siap, mohon maaf, Danki, masih mencari. Mohon izin arahan, setelah ini harus ke arah mana?" tanyaku pada sang danki, pura-pura gila demi mencari topik pembicaraan. Masakan aku langsung pergi padahal ada salah seorang pejabat di Yonif ini? Minimal, basa-basi. "Dokter bisa ke kanan, nanti ada palang kantor di atas," jawabnya lugas, singkat, padat. Aku sempat ternganga sebentar. Okay, Tesshu, kamu membawa almamatermu, kampus top markotop nomor 1 di Nusantara, tunjukkan performa terbaikmu. "Siap, terimakasih banyak atas arahan Danki. Mohon izin sebelumnya, jika boleh tahu, Danki akan ke mana? Apabila searah, mari berjalan bersama." Oh god, aku ingin sekali menampar mulut manisku ini sekarang, mulut yang sudah menghasilkan banyak korban jiwa, termasuk Danmenkor, Mayor Adriel dulu, saat masaku kadet tingkat pertama. Aku tidak mau di tahun pertama dinasku, korbannya adalah danki rupawan ini. "Mari," jawabnya singkat, lagi-lagi sambil mendahuluiku. Aku bergegas menyusulnya dan berusaha mengimbangi langkahnya.
Aku meremas rok PDH-ku berkali-kali, malu mengingat kejadian 5 menit lalu. Aku seharusnya tahu pria pejabat itu tidak akan pernah ke poli Yonif, kecuali ada kepentingan. Dan sekarang, kepentingannya adalah aku. Ya, AKU. "Senang bekerjasama dengan Dokter," katanya. Ia duduk di depanku sambil mengecek berkas-berkas serta ijazahku. Tak ada masalah dengan itu. Masalahnya adalah, kenapa insting kepekaanku ini sejak dahulu kala tidak pernah berkembang? "Mohon maaf sebelumnya, dokter, dan terimakasih banyak telah bersedia ditempatkan di sini. Saya mewakili Komandan Batalyon Infanteri 202/Tajimalela mengucapkan selamat datang dan selamat bertugas, semoga amanah dan berkah, diberikan kelancaran selalu." Amin. Aku tersenyum nanar, sedikit canggung juga. Oke, Tesshu, dulu kau adalah seorang narator dan kreator humas resimen korps, mari keluarkan jurus kata-kata indah nan menyejukkanmu yang dapat memecahkan atmosfer ini. "Mohon izin, danki. Dengan segala hormat, juga tanpa mengurangi rasa homat, seharusnya saya yang berterimakasih pada danki atas sambutan luar biasa ini. Saya yang seorang dokter baru lulus ditempatkan di batalyon ini, serasa memiliki keluarga baru. Mohon kerjasamanya, danki, saya percaya kita dapat menjadi rekan kerja yang baik."
Ya, dan begitulah aku mengawali karir militerku di sini, sebuah batalyon infanteri yang tidak kecil. Ini besar, di tengah Kota Patriot Bekasi. Kawasan berawa dan berhutan hujan tropis lebat sebetulnya sudah biasa bagiku, dan kalau boleh mengakui, seharusnya ini bukan penugasan pertamaku. Lika-liku kehidupan seorang dokter muda di daerah konflik telah kulalui, seharusnya aku bukan orang yang terlalu awam dengan kondisi seperti ini. Kami, kadet mahasiswa sudah dibiasakan dengan kondisi serba sulit, memerlukan ketanggapan tinggi, berpikir cepat, dan bijak dalam mengambil setiap keputusan. Itulah keunggulan kami dibanding dokter dari perguruan tinggi biasa lain. Ya begitulah.
Batalyon Infanteri 202/Tajimalela sebenarnya terlampau biasa. Sang danyon, Letkol INF Fatkhul Zuhdi adalah teman ayahku. Bukan tanpa alasan aku disambut sebaik itu di sini, apalagi dengan sang bawahan danyon langsung, Kapten Angga, begitu anak buahnya memanggilnya. Aku, dengan skill intelijenku mencari tahu banyak info mengenai pejabat yonif yang kuketahui sudah beroperasi sejak 1948, baik dari teman-temanku, riwayat pekerjaan, keluarga, pendidikan. Ayahku adalah teman baik danyon. Aku tidak memintanya, aku juga tidak merajuk untuk dititipkan kepada sang danyon. Ya, tapi begitulah tentara. Ayah tentu ingin aku disambut baik dan dikelilingi orang-orang baik, tidak ada maksud tertentu sesungguhnya. Dan aku tidak masalah dengan itu. Justru aku bersyukur. Harapannya pekerjaanku dimudahkan di sini.
Sudahkah aku memberitahumu bahwa aku di sini hanya sementara saja? Ya, hanya 3 bulan, setara Pendidikan Dasar Militer Chandradimuka. Hanya untuk orientasi, sebelum aku diterjunkan ke medan tugas yang sebenarnya. Hari ini tanggal 26 Mei 2029, hari pertamaku datang di tempat ini. Klek! Kubuka pintu kamarku yang bernuansa hijau. Mes ini seharusnya untuk Wan TNI, tetapi karena di batalyon tidak ada wanita, maka aku tinggal sendiri. Ruangan ini mengingatkanku akan Mes Serayu di Akademi Militer, tempat tidurku di hari-hari akhir pendidikan 6 tahun yang lalu. Aku menaruh koperku di ujung kamar. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. 3 bulan? Waktu yang sama seperti aku Diksarmil dulu. Tanggal mulai yang sama, selesai yang sama, 26 Agustus 2029. Aku sedikit tersenyum. Semoga nasib baik ada padaku.
Aku terbangun dengan suara gemerisik di luar. Kasurku memang dekat dengan jendela. Dalam militer, aku diajarkan untuk peka terhadap bunyi dan siaga selalu walau sedang tidur di tempat baru. Tidak mengganggu, hanya kedengarannya seperti orang umek dengan entah apa itu. Astaga, ini masih jam 02.00, terlalu dini untuk bangun. Aku terdiam sebentar, mendegar dengan seksama. Kesal dengan suara itu, aku membuka jendela. Netraku langsung menangkap sosok seorang pria tinggi tegap yang aku kenal. Ia memakai set PDL Tempur lengkap, dengan senjata di tangan kirinya, sedang tangan kanannya berusaha menghentikan pendarahan pada kakinya. Ia terlihat sangat lelah dan pahanya berdarah, cukup banyak. "Danki?"
Aku sudah sangat terlatih dalam memberikan pertolongan pertama pada korban, dalam kondisi apapun. Itulah mengapa spesialis emergensi dan bedah sedikit mengundang ketertarikanku. Kedokteran militer dituntut tanggap dan siap sedia. Aku seringkali membidai, membalut luka dan bantuan nafas dengan alat seadanya di alam, termasuk kasus yang satu ini. Untung saja aku selalu membawa Emergency Kit kemanapun aku pergi, walau tadi agak sulit membongkarnya dari koperku. "Tidak perlu, dok," kata sang danki dengan lirih. Aku memilih diam dan tidak banyak bicara, sedang tanganku sibuk membalut luka gores yang cukup dalam itu. Sebetulnya tidak perlu, lah, aku membanggakan diri. Aku bisa merasakan rasa sakit itu, karena aku pernah di posisinya. Ya, aku pernah, bertahun-tahun lalu, saat aku tingkat dua di pendidikan, saat kami latihan penyegaran di hutan. Bukan tanpa alasan aku berkata seperti ini, tapi goresan sangkur itu memang luar biasa menyakitkan.
Aku tidak tahu apa yang terjadi, dan aku juga tidak meminta pasienku malam tadi bercerita, jadi ya sudah. Bukannya aku tak peduli, aku tahu dan aku tidak perlu heran. Di Batalyon Infanteri, prajurit adalah garda terdepan yang siap dimobilisasi kapanpun juga. Dan pendadakan seperti ini adalah suatu hal yang wajar, sebab aku juga pernah didadak, bahkan sampai tingkatan yang rasanya brutal sekalipun. Setelah pembalutan kilat kurang lebih 10 menit, Danki C itu pergi dengan terpincang-pincang. Jujur, aku gemas melihat orang yang sebetulnya tidak mampu, tapi memaksakan diri. Aku berdiri dari tempat awalku, memaksa lepas segala perlengkapan PDLT-nya, dan memapah pria yang lebih besar dariku itu menuju poli, tak jauh dari mesku.
"Hm?" Aku memandang heran sebuah catatan kecil di atas meja kerjaku di hari keduaku ini. Sebuah kertas robekan yang sangat kecil, namun rapi, dan tedapat tulisan di atasnya.
Dari: Kapten INF Ign. Airlangga
Kepada: Lettu CKM (K) dr. Tessalonika
Saya sangat berterimakasih kepada dokter atas bantuan yang diberikan semalam. Saya meminta maaf apabila saya merepotkan dan mengganggu istirahat malam dokter. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi kepada saya apabila saya tidak bertemu dokter.
Maaf saya hanya bisa berkirim surat. Hari ini saya akan ke RST untuk tindakan terhadap luka saya dan mengambil obat. Maaf saya tidak mengabari dokter dahulu karena takut mengganggu dokter. Terimakasih.
Salam hangat,
Kapten INF Ign. Airlangga
Aku dalam hati mengucapkan, "Sama-sama, dengan senang hati, semoga lekas sembuh, danki." Aku senang bisa membantu menyembuhkan orang, ada secercah kepuasan tersendiri ketika aku bisa membahagiakan orang lain dengan ilmu yang aku punya. Aku jadi teringat pesan Almarhum Mbah Kakung tersayangku yang berpulang 7 tahun yang lalu, tepat di tahun terakhirku di SMA. "Jadilah anak yang kepintarannya digunakan untuk berbakti dan berguna bagi bangsa, negara, agama, serta keluarga," kata beliau setiap mendoakan kami semua. Dan sekarang itu benar-benar terwujud, Puji Tuhan.
Aku tidak menyangka, kejadian malam itu membawaku bertemu dengan salah seorang seniorku sekaligus abang asuhku, Bang Fajrin di lorong RST tempat Danki dirawat. Beliau tiga tahun di atasku, angkatan pertama UNHAN. Orang yang baik, suka bercerita tentang studinya, memberikan informasi, bahan belajar dan relasi luas. Takdir apa lagi ini. Aku memang masih berhubungan baik dengan keluarga asuhku, tetapi karena sibuk mengurus kepindahan ini, sepertinya aku sudah tidak pernah mengecek grup lagi. "Abang!" panggilku. Tadi pagi memang aku berinisiatif untuk mengecek perkembangan Danki sesaat setelah aku membaca surat itu. Danyon kebetulan juga akan menjenguk Danki, sehingga aku, Danyon, dan Letnan Sawung, danton bawahan Danki Angga dengan dikendarai ajudan Danyon, pergi menuju RST. Kami memang terpisah di lobi, karena aku izin ke toilet, sedang Danyon dan Letnan Sawung melanjutkan perjalanan ke ICU.
Comments
Post a Comment