2023.072



Kita mulai dari awal, ya. Dari sebelum semuanya terjadi. Awal yang menjadi akar semua ini, kisah kita di tempat ini. Aku terduduk dengan sedikit shock ketika suara ibu yang aku tidak tahu siapa itu memanggil nama teman-temanku. Aku tidak tahu dia siapa, dan aku yakin dia tidak tahu aku siapa, dan nama-nama yang ia sebutkan itu, sebagian memang sudah familiar, tetapi sisanya aku tidak tahu bagaimana rupanya. Orang-orang yang namanya disebut itu berpindah ke sisi kiri lapangan dengan membawa seluruh perlengkapannya masing-masing. Aku berusaha memusatkan perhatian walaupun masih kaget dengan apa yang terjadi padaku, baru saja 10 menit yang lalu. Baru saja turun bus, dengan membawa beban seberat hampir 20 kg, aku dan yang lainnya diteriaki dan dimaki. Aku yakin tidak semua orang membawa miliknya masing-masing. Pasti ada yang tertukar.


Masih sambil berusaha fokus, aku menatap sekitar. "Ini di mana? Kapan namaku disebut? Ini lapangan sudah mau kosong. Sebenarnya kita mau ngapain, sih?" Di tengah-tengah lamunanku, tiba-tiba sebuah sentuhan kasar mengagetkanku. Aku melamun dan tidak mendengar nomor urutku. Dengan berusaha sekuat tenaga, aku mengangkat tas-tasku bergabung dengan yang lain. Aku tidak tahu sudah berapa kali barangnya jatuh dan berceceran, sampai harus dibantu temanku. Namun di detik itu, aku masih belum tahu berapa nomor urutku. 


Kami berpindah tempat ke sebuah barak. Sekilas nampak biasa saja, namun yang tidak biasa, kok jauh sekali dan tidak sampai-sampai kasurku? Aku membawa beban seberat itu masuk barak yang berliku-liku. Ada lebih dari 5 koridor kulewati demi mencapai tempat tidur, sejauh itu. Ya, barak itu, entah apa namanya. Di sana, di pojok, paling pojok, paling ujung, jauh dan remang-remang. Di sana aku akan tinggal selama 3 bulan ke depan. Kuletakkan barang-barangku di depan kasur setelah namaku dipanggil. "072! Heh, siapa 072!?" teriak pengasuhku dari pintu barak. Dalam hatiku, apa itu aku, ya? "Tessalonika! Weh, monyong kamu! Punya telinga tidak!?" Aku segera berlari menuju kasurku. Ah, 072 ya? Mulai sekarang namaku jadi 072. Ya, 072. Angka itu memang sederhana. Hanya tiga angka yang seharusnya tidak berarti apa-apa. Tidak ada yang spesial dari itu. Apa yang kau harapkan dari 072? Dia bukan nomor cantik. Dia bukan siapa-siapa, tidak diharapkan siapa-siapa. Dia hanya angka yang terlampau biasa dan sekiranya tidak ada orang yang akan meliriknya dan menaruh harapan lebih padanya. Namun Tuhan mengangkat derajatnya. Tuhan maha tahu. Ia tahu masa depan, yang terbaik bagi dia yang bahkan dicemooh banyak orang. "Ah, nggak mungkin." Iya, tidak akan mungkin jika bukan mujizat Tuhan.


072 menjadi identitasku semenjak hari itu, di malam yang dingin menusuk pada penghujung bulan Mei 2023. Semua orang mengenalku dengan si "072". Angka itu tertempel di semua barang-barangku; tempat pensil, tas, tempat minum, baju, jemuran, lemari, ember, gayung, topi, dan semuanya. Terutama, helm. Sesuatu yang paling terlihat jelas. Kuterima helm baru yang masih bersih suci itu keesokan harinya, dengan angka 072 terpampang jelas di depan dan belakang. Kupandangi helm itu dan ku kencangkan talinya sebelum kupakai. "Hai, helmku, si 072. Ini pertama kali kita bertemu, ya? Salam kenal. Semoga kita bisa menjadi kawan yang baik, ya, mulai detik ini hingga selesai suatu saat nanti. Temani aku menghadapi segala ketidakmungkinan di depan, jangan pernah tinggalkan aku. Karena kamu adalah aku, dan aku adalah kamu."


Helm itu bersih ketika aku terima. Aku sadar, adalah sebuah perintah untuk membuat helm itu kotor dan penuh goresan. Angkanya bahkan hampir hilang tidak terbaca. Dia yang melindungi kepalaku saat badan ini hancur lebur, saat raga ini rasa ingin lepas dari sukma, saat lebam dan luka menyelimuti seluruh tubuhku. "Hah, AKA berapa itu?" Seniorku seringkali tidak dapat membaca angka yang sudah pudar itu. Kutebali dengan spidol putih agar mudah terbaca. Helm itu sangat kusayang dan kucinta. Kulap dan kuberi minyak kayu putih agar bersih dan mengkilap.


Aku benar-benar tidak bisa jika harus memberikan helmku itu kepada siapapun juga.  Karena dia, bagaimanapun adalah aku, dan aku adalah dia.


Dua tahun tak terasa telah berlalu. Dia saksi bisu segala peristiwa hidupku. Banyak cerita yang tidak bisa diceritakan, itu hanya milik kami berdua dan akan terkubur seiring berjalannya waktu. Mustahil aku bisa melupakannya. Namun perjuangan ini belum selesai. Dia masih akan terus menjadi saksi hidupku, hingga hari nanti kita harus berpisah. Sampai kapanpun, akulah si 2023.072 itu. Sampai pangkat yang kupikul di bahu ini berubah menjadi bintang kejora yang bersinar di angkasa, aku tetaplah sama si 072 yang dulu. Dia yang menemaniku, dari yang bukan siapa-siapa, menjadi seorang yang luar biasa. Rintangan di depan yang kupikir akan "Mustahil. Nggak akan mungkin aku melewati itu. Aku akan mati habis ini. Bisa nggak, ya, lewat jalan pintas lain?" Tapi toh walaupun sakit sampai berdarah-darah, aku bisa kok melewati semua itu sampai akhir. Aku kuat lho sampai detik paling akhir. Dan Puji Tuhannya, aku masih hidup dan sehat sampai detik ini. Aku yakin dan percaya, 072 adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepadaku.


072-ku,

Kutunggu hingga kamu menjadi bintang.

Comments

Popular Posts