Etika, Empati dan Profesionalisme sebagai Dokter
Ini adalah hari pertama saya menjalani Praktek Kerja Lapangan (PKL) dalam rangka memenuhi tugas Modul Etika, Empati dan Profesionalisme Kedokteran di semester tiga. Saya dan beberapa teman saya pada awal bulan Februari 2025 menjalani dinas luar di sebuah panti jompo yang menurut saya sangat elit, fasilitas lengkap dan mewah untuk ukuran sebuah panti jompo. Panti itu bernama RUKUN Senior Living. Ketika pertama saya mendapatkan kesempatan untuk dinas luar ke panti jompo, di pikiran saya sebuah tempat semacam asrama yang isinya orang-orang tua yang sudah sulit untuk mobilisasi karena pengalaman saya ke Dinas Sosial Kemensos dulu.
Saya salah besar, ternyata tempat itu sangat besar dan
mewah. Kami bahkan tidak pernah menyangka bahwa panti itu ada di dalam komplek
yang isinya juga resort, restoran, taman kanak-kanak dan café. Sontak kami
bertanya pada caregiver yang ada di sana berapa biaya yang dikeluarkan bagi
keluarga lansia apabila ingin menitipkan lansia di tempat itu yang ternyata
menembus puluhan juta. Dan seketika stigma buruk saya tentang panti jompo
berubah.
Menurut pembagian, seharusnya saya berada di lantai satu. Namun
entah kenapa, saat akan turun, saya merasa prihatin dengan pasien yang akan
mereka tangani di lantai dua, di mana kondisinya tidak se”bagus” di lantai
satu. Saya kemudian mengurungkan niat saya untuk turun dan membantu teman saya
berkomunikasi dengan salah seorang pasien, yang mana saya temukan bahwa perbedaan
pasien yang di lantai dua dan lantai satu adalah “demensia”. Pasien di sini
kebanyakan tidak dapat merespon jika diajak berbicara, namun cenderung mengerti
apa yang dibicarakan, seperti merespon saat namanya dipanggil, diberi sentuhan
dan membuka sendiri mulutnya saat diberi suapan makanan.
Seorang pasien yang saya handle bernama Ibu Pane, begitu
beliau memperkenalkan dirinya. Ibu Pane berusia sekita 60 tahun, berasal dari
tempat yang sangat jauh di Sumatera Utara. Ia sudah 2 tahun di panti ini. Yang membedakan
beliau dari pasien lain adalah beliau yang paling cerewet dan suka mengobrol. Cerita
yang beliau ulang berulang kali adalah, “Suamiku bekerja di Garuda, namanya
Yusuf, dia orang Jawa, anakku tiga, aku suka bernyanyi, dulu aku penyanyi RRI, aku
punya saudara di sana, SMA-ku di sini,” yang mana itu diulang hingga
berkali-kali sampai kami hafal. Di antara yang lain, beliau juga yang paling
aktif dalam melakukan kegiatan fisik dan makan lahap.
Satu hal yang menurut saya tidak hilang dari sifat asli
beliau, yakni peduli. Ketika saya bawakan beliau satu set mewarnai, beliau
mengatakan tidak suka mewarnai. Sambil mengobrol dengan beliau, saya iseng
mewarnai, padahal saya sendiri pun tidak suka mewarnai, dan meminta pendapat
beliau tentang hasil mewarnai saya yang seadanya. Tidak saya sangka, saya kira
mungkin beliau akan cuek saja, ternyata saya sala besar. Beliau amat mengapresiasi
hasil gambar saya. Menurut saya bukan karena beliau demensia beliau melakukan
itu, namun karena ada rasa toleransi dan menghargai. Beliau juga tidak mau
makan jika kami tidak makan, yang mana kami yakinkan berkali-kali pada beliau
jika kami sudah makan cukup dan kekenyangan sehingga tidak makan bersama
mereka. “Makan mereka di mana? Ayo kalian ikut makan. Makan saja ini punya
saya,” kata beliau saat kami menerima snack dan makan siang Ibu Pane, yang mengundang
keterkejutan kami. Sebuah perhatian sederhana yang membuat kami merasa dihargai
dan dianggap “ada”, bukan sekedar angin lalu yang menumpang lewat.
Kami tidak lama berada di sana, hanya kurang lebih 4 jam. Saya
kira saya tidak akan kuat jika harus sehari full saja di sana. Tekanannya
terlalu tinggi dan melelahkan secara batin dan fisik. Dua jempol untuk para
caregiver di sini, mereka amat luar biasa. Sedikit mengenai caregiver, mereka
ternyata dari latar belakang yang berbeda-beda. Saya juga menemui anak PKL SMK
Kesehatan dari Sragen yang kurang lebih 2 bulan magang di sana, caregiver dari
Afganistan dan Somalia yang sudah lama tinggal di Indonesia dan fasih berbahasa
Indonesia, dan fresh graduate SMK
yang memang bekerja di situ. Dari situ saya mendapat suatu insight baru. Oh, ternyata ada, ya, pekerjaan bernama “caregiver”. Ternyata
caregiver itu seperti ini.
Setelah jam makan siang, kami diarahkan untuk pulang
berkumpul di bawah. Saya berpikir ini terlalu mendadak, bahkan kami belum
berpamitan pada para lansia. Saya segera melakukan pamitan kilat dan mengucapkan
terimakasih kepada para lansia dan caregiver yang senantiasa dengan sabar
mendampingi. Ibu Pane nampak sedih dan bertanya-tanya apakah kami akan kembali
nanti untuk menemaninya. Entah kenapa saya membuat janji kepada orang yang saya
tahu tidak akan saya tepati. “Iya, nanti saya ke sini lagi. Nanti kita
jalan-jalan ya, bu,” ucapku untuk meredakan keresahannya. Saya tipe orang yang
selalu berusaha menepati janji jika sudah membuat janji, itu mengapa saya agak
berat ketika mengucapkannya dan malah jadi kepikiran, “Apa ibu itu sudah lupa
atau masih ingat? Saya jadi merasa bersalah, maaf ya, Bu.”
Ini adalah pengalaman yang tak akan saya lupakan, definisi
benar-benar keluar dari zona nyaman saya. Siapa yang mengira di belahan dunia
lain ada sesuatu seperti ini? Itulah mengapa saya sangat bersyukur pernah ke
sebuah tempat bernama panti jompo. Saat masih SD dulu, kakek suka mengajak saya
untuk menemani beliau pelayanan di Dinsos Kemensos di Bekasi karena para oma
opa sudah tidak dapat ke gereja dan hanya tirah baring di kasur. Sekarang saya
yang ada di posisi itu. Bahkan orang demensia saja masih lebih baik dan peduli dibandingkan
yang tidak. Ada sebuah pesan dari tempat itu, namun bukan disampaikan secara
lisan, “Hargailah kehidupan, karena setiap kehidupan itu berharga.”
Comments
Post a Comment